Di antara 23 anak korban pistol mainan di Sumatera Barat, kini tinggal tiga orang yang masih dirawat di RSUP M. Djamil, Padang. Berikut laporan wartawan Jawa Pos DHIMAS GINANJAR yang mengunjungi pasien-pasien yang terancam buta itu.
GILANG Kurnia Al Fitrah, 10, tampak ceria kemarin (21/9). Dengan satu mata yang masih diperban, dia mondar-mandir di ruang rawat inap RSUP M. Djamil. Dia menghampiri Yogi Jasrul, 14, pasien lain, di tempat tidurnya.
Sapaannya hanya dibalas senyum oleh Yogi. Respons tersebut, tampaknya, tidak diinginkan Gilang. Dia lantas melompat ke tempat tidur Jefry Naldy, 8, pasien yang lain. Saat itu, Jefry sedang bersiap hendak meninggalkan rumah sakit. Dokter membolehkannya pulang.
Siswa kelas 2 SD 07 Sungai Tawar Tarusan itu masih belum bisa melihat dengan baik saat mata kirinya ditutup. Dia menyatakan pandangannya masih remang-remang dan tidak bisa fokus.
''Belum bisa jelas kalau lihat pakai mata yang ini,'' ujarnya sembari menunjuk mata kanannya yang diperban.
Begitu Jefry pulang, di sal ''khusus'' korban pistol mainan itu tinggal dua pasien, Gilang dan Yogi. Gilang berasal dari Painan, Padang, sedangkan Yogi dari Pemancungan, Padang. Keduanya belum boleh pulang karena darah di kelopak matanya masih menggumpal. Akibatnya, mata dua bocah tersebut memerah dan memiliki luka lebam di kelopak matanya.
Yogi menceritakan bagaimana dirinya sampai harus dirawat di RSUP M. Djamil. Dia mengungkapkan, matanya terkena peluru plastik yang ditembakkan teman-temannya dalam sebuah permainan tembak-tembakan. Dia pun KO begitu peluru sebesar biji kedelai itu mengenai mata kirinya. ''Saya teriak kesakitan,'' ujarnya.
Menurut Yogi, semua bermula dari kegemaran dirinya pada permainan online game bergenre First-Person Shooter (FPS). Game yang identik hanya menampilkan moncong senjata di layar kaca itu mengajarkan untuk menembak jitu ke beberapa organ vital. Salah satunya, tembakan di kepala atau yang lebih dikenal dengan headshot.
Dia mengaku tergila-gila dengan game Point Blank (PB), game FPS yang sedang digandrungi para gamers, termasuk anak-anak, di Kota Padang. Biasanya, dia bersama teman-temannya berlomba untuk mendapatkan poin tertinggi. Untuk memenangi pertaruhan itu, salah satu cara yang paling cepat adalah menembak di bagian kepala lawan.
Itu cara paling cepat untuk menang. Kalau menembak di bagian tubuh lain, tidak bisa sekali tembak terus mati. Tapi, kalau lawan kena kepala, dia langsung mati,'' ceritanya.
Mungkin karena terlalu asyik bermain game tersebut, saat mata Yogi tertembak, lawan yang melepaskan tembakan malah teriak headshot. Sementara itu, Yogi teriak histeris karena bulir peluru pistol-pistolan tersebut menyentuh kelopak mata kirinya.
Saat itu juga kualitas pandangan mata kiri Yogi langsung menurun. Darah mengucur dari kelopak mata siswa SMP Baiturrahmah Padang tersebut. ''Sama seperti di game, kepala saya langsung jadi sasaran,'' ucapnya.
Tak jauh berbeda dengan cerita Gilang. Bocah 10 tahun itu juga penggemar game tembak-tembakan. Bahkan, saat Ramadan lalu dia menghabiskan waktu di warnet untuk bermain game online. Permainan ketangkasan itu juga sering dipraktikkan bersama teman-teman sekampungnya. ''Pokoknya, begitu dorr... headshot, musuh langsung mati,'' ucap siswa kelas V SD itu.
Tak berbeda dengan Yogi, Gilang juga tak menyangka bila akhirnya dia terkena bagian kepala. Apesnya, peluru yang dimuntahkan musuhnya dari jarak dekat itu mengenai mata kirinya hingga berdarah. ''Saya langsung menangis mengetahui mata saya kena tembak musuh,'' tuturnya polos.
Menurut Kepala Staf Medis Fungsional (SMF) Mata RSUP M. Jamil dr Ardizal Rahman SpM(K), pihaknya sempat merawat 23 anak korban pistol mainan tersebut. Namun, kini tinggal dua pasien yang tersisa karena lukanya masih dalam perawatan intensif.
Meski begitu, dari 23 pasien tersebut, lima anak terancam menderita kebutaan. Itu karena trauma yang terjadi pada mata membawa komplikasi glaukoma (penglihatan terus berkurang dan memicu kebutaan). Maklum, dorongan peluru yang dikeluarkan pistol mainan itu dinilai Ardizal sangat kuat. Apalagi, pistol tersebut ditembakkan dari jarak yang cukup dekat.
Ardizal menjelaskan, rata-rata korban pistol mainan itu mengalami sobek pada iris mata. Akibatnya, perdarahan pada bola mata akan terjadi. Hal itu disebabkan tingginya tekanan pada bola mata yang terkena peluru. Dorongan peluru tersebut memicu rusaknya saraf optik yang membentuk bagian-bagian retina di belakang bola mata. Efek langsungnya, penderita akan merasakan sakit kepala yang amat sangat dan diikuti menurunnya kualitas penglihatan.
Menurut Ardizal, reaksi seseorang saat peluru menyentuh mata berbeda-beda. Ada yang langsung trauma dengan mata yang memerah, ada yang merasa sakit tetapi tidak tampak kerusakan pada fisik mata secara langsung. Oleh sebab itu, pasien harus segera dibawa ke dokter begitu terjadi kasus trauma pada mata. ''Jika tidak, kondisi mata bisa semakin gawat dan tidak tertolong lagi,'' katanya.
Dia lantas menyebut efek trauma glaukoma jika tidak segera dirawat. Dalam jangka waktu dua bulan mata yang mengalami trauma akan membusuk. Hal itu disebabkan air mata di lapisan dalamnya tersumbat. Jika sudah demikian, dengan terpaksa mata yang membusuk itu harus dibuang.
Selain itu, kalau tidak segera diatasi, mata yang trauma bisa menyebabkan hifema atau gumpalan darah di dalam bola mata. Jika terus dibiarkan, hifema bisa menyebabkan imbibisi kornea. Yakni, kornea menjadi cokelat dan tidak bisa berfungsi lagi. ''Sebenarnya peluang sembuh bagi penderita imbibisi kornea masih ada dengan melakukan cangkok mata. Namun, cara tersebut tetap tidak membuat mata sehat 100 persen,'' tandasnya